Fred S.Siebert,
Theodore Peterson dan Wilbur Scramm dalam bukunya berjudul Four Theoris of the
Press menyebutkan empat teori pers, yaitu; Authoritarian press, Lebertarian
press, social responsibility press dan Soviet Communist perss. Khusus teori
yang terakhir, Soviet Communist Press, sebenarnya pengembangan dari
Authoritarian Press, sedangan Social Responsibility Press merupakan
perkembangan dari Libertarian Press.
1. Pers
Otoriter
Perkembangan otoriterisme pada pertengahan abad ke-15 juga menyebabkan
timbul satu konsep otoriter di kehidupan pers di dunia, berawal di Inggris,
Perancis dan Spanyol dan kemudian menyebar ke Rusia, Jerman, Jepang, dan
negara-negara lain di Asia dan Amerika Latin pada abad ke-16. Dengan prinsip
dasar otorisme yang cukup sederhana bahwa pers hadir untuk mendukung negara dan
pemerintah. Mesin cetak yang ketika itu baru diciptakan tidak dapat digunakan
untuk mengecam dan menentang negara atau penguasa. Pers bertungsi secara
vertikal dari atas ke bawah dan penguasa berhak menentukan apa yang akan
diterbitkan atau disebarluaskan dengan monopoli kebenaran di pihak penguasa.
Konsep ini didukung oleh teori Hegel, Plato dan Karl Marx yang pada inti
ajarannya (meskipun cenderung pada konsep sosialisme) mengagungkan negara
sedemikian rupa dan berpendapat bahwa negara memiliki hak dan kewajiban untuk
membela dan melindungi dirinya sendiri dengan segala cara yang dipandang perlu.
Kekuatan pers yang diakui sebagai kekuatan keempat (fourth estate) menyebabkan
negara atau penguasa mengalami phobia terhadap pers yang selalu menjadi pihak
yang pertama tahu dan biang untuk menyebarkan kelemahan dan cela atau hal-hal
yang merugikan negara atau penguasa.
Berkaitan dengan konsep otoriter yang tidak terlepas dari pemerintah atau
penguasa, di mana selain bahwa media memiliki konsekuensi dan nilai ekonomi dan
objek persaingan untuk memperebutkan kontrol dan akses. Maka dalam hubungannya
dengan pemerintah atau penguasa, media massa dipandang sebagai alat kekuasaan
yang efektif karena kemampuannya untuk melakukan salah satu (atau lebih) dari
beberapa hal berikut:
•Menarik dan
mengarahkan perhatian
•Membujuk
pendapat dan anggapan
•Mempengaruhi
pilihan dan sikap
•Memberikan
status dan legitimasi
•Medefinisikan
dan membentuk persepsi realitas.
Dalam hubungan
media massa dengan masyarakat, konsep otoriter ini mengambil dalih bahwa media
massa merupakan corong penguasa, pemberi pendapat dan instruksi serta kepuasan
jiwani. Media massa bukan saja membentuk hubungan ketergantungan masyarakat
terhadap media itu sendiri tetapi juga dalam menciptakan identitas dan
kesadaran.
Menurut C. W.
Mills potensi media massa diarahkan untuk pengendalian nondemokratis yang
berasal 'dari atas'. Teori Marxis menekankan kenyataan bahwa media massa pada
hakikatnya merupakan alat kontrol kelas penguasa kapitalis. Sebagai suatu kelas
yang mengatur produksi kelaskelas tersebut juga akhirnya menguasai dan
menentukan gagasan pada masyarakatnya, maka gagasan mereka diidentikkan dengan
gagasan penguasa. Orang yang berada dalam kelas ini adalah orang berada yang
juga terjun dalam dunia politik.
Teori otoriter
mengenai fungsi dan tujuan masyarakat menerima dalil-dalil yang menyatakan
bahwa pertama-tama seseorang hanya dapat mencapai kemampuan secara penuh jika
ia menjadi anggota masyarakat. Sebagai individu lingkup kegiatannya benar-benar
terbatas, tetapi sebagai anggota masyarakat kemampuannya untk mencapai suatu
tujuan dapat ditingkatkan tanpa batas. Atas dasar asumsi inilah, kelompol lebih
penting daripada individu, karena hanya melalui kelompok seseorang dapat
mencapai tujuannya. Teori ini telah mengembangkan suatu pemyataan bahwa negara
sebagai organisasi kelompok dalam tingkat paling tinggi telah menggantikan
individu dalam hubungannya dengan derajat nilai, karena tanpa negara seseorang
tak berdaya untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia beradab.
2. Pers Liberal
Teori pers
liberal atau juga dikenal dengan teori pers bebas pertama sekali muncul pada
abad ke-17 yang merupakan reaksi atas kontrol penguasa terhadap pers. Teori
pers liberal adalah merupakan perkembangan dari teori pers sebelumnya, yaitu
teori pers otoriter yang jelas-jelas sangat didominasi oleh kekuasaan dan
pengaruh penguasa melalui berbagai upaya yang sangat mengekang dan menekan
keberadaan pers.
Selama dua
ratus tahun pers Amerika dan Inggris menganut teori liberal ini, bebas dari
pengaruh pemerintah dan bertindak sebagai fourth estate (kekuasaan keempat)
dalam proses pemerintahan setelah kekuasaan pertama: lembaga eksekutif,
kekuasaan kedua: lembaga legislatif, dan kekuasaan ketiga: lembaga yudikatif.
Dalam
perkembangan selanjutnya, pada abad ini muncul new authoritarianism di
negara-negara komunis sedangkan di negara-negara nonkomunis timbul new
libertarianism yang disebut social responsibility theory atau teori tanggung
jawab sosial.
Konsep pers
yang diterapkan di Barat merupakan penyimpangan demokratis dari kontrol
otoritarian tradisional. Perjuangan konstitusional yang panjang di Inggris dan
Amerika Serikat lambat-laun telah melahirkan sistem pers yang relatif bebas
dari kontrol pemerintah yang sewenang-wenang. Pada kenyataannya, definisi
tentang kebebasan pers merupakan hak dari pers untuk melaporkan, mengomentari,
dan mengkritik pemerintah. lni disebut "hak berbicara politik". Sejarah
mencatat, fitnah yang menghasut berarti kritik terhadap pemerintah, hukum, atau
pejabat pemerintah. Ketiadaan dalam suatu negara, fitnah yang menghasut sebagai
kejahatan dianggap sebagai ujian terhadap kebebasan menyatakan pendapat yang
secara pragmatis dibenarkan sebab berbicara yang relevan secara politik
merupakan semua pembicaraan yang termasuk dalam kebebasan pers. Pers yang
benar-benar bebas dan independen hanya ada di sebagian kecil negara-negara
Barat yang memiliki karakter sebagai berikut:
1. Suatu sistem
hukum yang memberikan perlindungan yang berati bagi kebebasan sipil perorangan
(di sini bangsa yang menerapkan common law, yaitu hukum yang menjamin kebebasan
individu bagi rakyat untuk menyatakan pendapat, seperti Amerika Serikat dan
Inggris) tampaknya menerapkan sistem pers yang lebih baik ketimbang Perancis
atau Itali yang menerapkan tradisi civil law;
2. Tingkat
pendapatan rata-rata yang tinggi dalam : income per kapita, pendidikan
melek-huruf;
3. Pemerintahan
dengan sistem multipartai, demokrasi parlementer atau sekurangkurangnya dengan
oposisi politik yang sah;
4. Modal cukup
atau perusahaan swasta diperbolehkan mendukung media komunikasi berita;
5. Tradisi yang
mapan mengenai kemandirian jurnalistik.
3. Pers Bertanggung Jawab Sosial
Pada hakikatnya
fungsi pers dalam teori tanggung jawab sosial ini tidak berbeda jauh dengan
yang terdapat pada teori libertarian namun pada teori yang disebut pertama
terefleksi semacam ketidakpuasan terhadap interpretasi fungsifungsi tersebut
beserta pelaksanaannya oleh pemilik dan pelaku pers dalam model libertarian
yang ada selama ini.
Penganut
libertarian mempercayai bahwa orang dapat mengetahui kebenaran saat mereka
boleh memilih dan pers sebagai penyedia ide-ide/pasar ide. Mereka percaya bahwa
media itu beragam dan independen dan orang-orang memiliki akses ke media.
Namun kenyataan
yang terjadi adalah pers itu menjadi berorientasi profit, dimana lebih
mengutamakan penjualan dan iklan di atas kebutuhan untuk menjaga publik
mendapat informasi lengkap dan akurat sehingga membahayakan moral publik,
melanggar hak-hak pribadi dan dikontrol oleh satu kelas sosioekonomi, yaitu
kelas bisnis yang membahayakan pasar ide yang bebas dan terbuka.
Teori tanggung
jawab sosial berasal dari Commission on Freedom of the Press sebagai reaksi
atas interpretasi dan pelaksanaan model libertarian yang ada. Komisi tersebut
merumuskan beberapa persyaratan pers sebagai berikut:
1. Memberitakan
peristiwa-peristiwa sehari-hari dengan benar, lengkap dan berpekerti dalam
konteks yang mengandung makna.
2. Memberikan
pelayanan sebagai forum untuk saling tukar komentar dan kritik.
3.
Memproyeksikan gambaran yang mewakili semua lapisan masyarakat
4. Bertanggung
jawab atas penyajian disertai penjelasan mengenai tujuan dan nilainilai
masyarakat.
5. Mengupayakan
akses sepenuhnya pada peristiwa sehari-hari.
Secara umum
suatu berita haruslah mendukung konsep non-bias, informatif dan institusi pers independen
yang akan menghindari penyebab ancaman terhadap kaum minoritas atau yang
mendorong tindak kejahatan, kekerasan dan kekacauan sipil. Tanggung jawab
sosial seyogyanya dicapai melalui self control/kontrol diri (dari pers itu),
bukan dari pemerintah.
Tanggung jawab
sosial jika dikaitkan dengan jurnalis melibatkan pandangan yang dimiliki oleh
pemilik media yang serta merta akan dibawa dalam media tersebut haruslah
memprioritaskan tiga hal yaitu keakuratan, kebebasan dan etika. Tak pelak lagi
profesionalisme menjadi tuntutan utama disini. Jadi pelaku pers tidak hanya
bertanggung jawab terhadap majikan dan pasar namun juga kepada masyarakat.
4. Pers Soviet Komunis
Lahir pada era
Uni Soviet Russia yang berkembang di negara-negara komunis Eropa Timur dan
dikembangkan pula oleh Adolf Hitler di Jerman dengan Nazinya dan oleh Benito
Mussolini di Italia dengan Fasismenya. Teori tersebut berdasar pada ajaran
Marxisme, Leninisme, Stalinisme dan pembauran pemikiran Hegel serta cara
erberpikir Russia abad 19.
Oleh karena ia
merupakan produk dan alat penguasa soviet, maka tujuan media diarahkan untuk
membantu dan berlangsungnya sistem Sosialisme Soviet, khususnya kelangsungan
para diktator partai. Sehingga pengguna media massa hanya diperuntukkan bagi
para anggota partai yang setia dan ortodoks. Akibatnya, media massa pun
dikontrol dan diawasi dengan ketat seperti dilarang mengkritik tujuan partai
dan kebijakan-kebijakannya.Partai menganggap dirinya sebagai suatu staf umum
bagi masa pekerja. Menjadi doktrin dasar, mata dan telinga bagi massa.
0 komentar:
Posting Komentar