Rabu, 09 Januari 2013

Teori Pers


Fred S.Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Scramm dalam bukunya berjudul Four Theoris of the Press menyebutkan empat teori pers, yaitu; Authoritarian press, Lebertarian press, social responsibility press dan Soviet Communist perss. Khusus teori yang terakhir, Soviet Communist Press, sebenarnya pengembangan dari Authoritarian Press, sedangan Social Responsibility Press merupakan perkembangan dari Libertarian Press.
1. Pers Otoriter
Perkembangan otoriterisme pada pertengahan abad ke-15 juga menyebabkan timbul satu konsep otoriter di kehidupan pers di dunia, berawal di Inggris, Perancis dan Spanyol dan kemudian menyebar ke Rusia, Jerman, Jepang, dan negara-negara lain di Asia dan Amerika Latin pada abad ke-16. Dengan prinsip dasar otorisme yang cukup sederhana bahwa pers hadir untuk mendukung negara dan pemerintah. Mesin cetak yang ketika itu baru diciptakan tidak dapat digunakan untuk mengecam dan menentang negara atau penguasa. Pers bertungsi secara vertikal dari atas ke bawah dan penguasa berhak menentukan apa yang akan diterbitkan atau disebarluaskan dengan monopoli kebenaran di pihak penguasa.
Konsep ini didukung oleh teori Hegel, Plato dan Karl Marx yang pada inti ajarannya (meskipun cenderung pada konsep sosialisme) mengagungkan negara sedemikian rupa dan berpendapat bahwa negara memiliki hak dan kewajiban untuk membela dan melindungi dirinya sendiri dengan segala cara yang dipandang perlu. Kekuatan pers yang diakui sebagai kekuatan keempat (fourth estate) menyebabkan negara atau penguasa mengalami phobia terhadap pers yang selalu menjadi pihak yang pertama tahu dan biang untuk menyebarkan kelemahan dan cela atau hal-hal yang merugikan negara atau penguasa.
Berkaitan dengan konsep otoriter yang tidak terlepas dari pemerintah atau penguasa, di mana selain bahwa media memiliki konsekuensi dan nilai ekonomi dan objek persaingan untuk memperebutkan kontrol dan akses. Maka dalam hubungannya dengan pemerintah atau penguasa, media massa dipandang sebagai alat kekuasaan yang efektif karena kemampuannya untuk melakukan salah satu (atau lebih) dari beberapa hal berikut:

•Menarik dan mengarahkan perhatian
•Membujuk pendapat dan anggapan
•Mempengaruhi pilihan dan sikap
•Memberikan status dan legitimasi
•Medefinisikan dan membentuk persepsi realitas.


Dalam hubungan media massa dengan masyarakat, konsep otoriter ini mengambil dalih bahwa media massa merupakan corong penguasa, pemberi pendapat dan instruksi serta kepuasan jiwani. Media massa bukan saja membentuk hubungan ketergantungan masyarakat terhadap media itu sendiri tetapi juga dalam menciptakan identitas dan kesadaran.

Menurut C. W. Mills potensi media massa diarahkan untuk pengendalian nondemokratis yang berasal 'dari atas'. Teori Marxis menekankan kenyataan bahwa media massa pada hakikatnya merupakan alat kontrol kelas penguasa kapitalis. Sebagai suatu kelas yang mengatur produksi kelaskelas tersebut juga akhirnya menguasai dan menentukan gagasan pada masyarakatnya, maka gagasan mereka diidentikkan dengan gagasan penguasa. Orang yang berada dalam kelas ini adalah orang berada yang juga terjun dalam dunia politik.

Teori otoriter mengenai fungsi dan tujuan masyarakat menerima dalil-dalil yang menyatakan bahwa pertama-tama seseorang hanya dapat mencapai kemampuan secara penuh jika ia menjadi anggota masyarakat. Sebagai individu lingkup kegiatannya benar-benar terbatas, tetapi sebagai anggota masyarakat kemampuannya untk mencapai suatu tujuan dapat ditingkatkan tanpa batas. Atas dasar asumsi inilah, kelompol lebih penting daripada individu, karena hanya melalui kelompok seseorang dapat mencapai tujuannya. Teori ini telah mengembangkan suatu pemyataan bahwa negara sebagai organisasi kelompok dalam tingkat paling tinggi telah menggantikan individu dalam hubungannya dengan derajat nilai, karena tanpa negara seseorang tak berdaya untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia beradab.

2. Pers Liberal
Teori pers liberal atau juga dikenal dengan teori pers bebas pertama sekali muncul pada abad ke-17 yang merupakan reaksi atas kontrol penguasa terhadap pers. Teori pers liberal adalah merupakan perkembangan dari teori pers sebelumnya, yaitu teori pers otoriter yang jelas-jelas sangat didominasi oleh kekuasaan dan pengaruh penguasa melalui berbagai upaya yang sangat mengekang dan menekan keberadaan pers.
Selama dua ratus tahun pers Amerika dan Inggris menganut teori liberal ini, bebas dari pengaruh pemerintah dan bertindak sebagai fourth estate (kekuasaan keempat) dalam proses pemerintahan setelah kekuasaan pertama: lembaga eksekutif, kekuasaan kedua: lembaga legislatif, dan kekuasaan ketiga: lembaga yudikatif.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada abad ini muncul new authoritarianism di negara-negara komunis sedangkan di negara-negara nonkomunis timbul new libertarianism yang disebut social responsibility theory atau teori tanggung jawab sosial.
Konsep pers yang diterapkan di Barat merupakan penyimpangan demokratis dari kontrol otoritarian tradisional. Perjuangan konstitusional yang panjang di Inggris dan Amerika Serikat lambat-laun telah melahirkan sistem pers yang relatif bebas dari kontrol pemerintah yang sewenang-wenang. Pada kenyataannya, definisi tentang kebebasan pers merupakan hak dari pers untuk melaporkan, mengomentari, dan mengkritik pemerintah. lni disebut "hak berbicara politik". Sejarah mencatat, fitnah yang menghasut berarti kritik terhadap pemerintah, hukum, atau pejabat pemerintah. Ketiadaan dalam suatu negara, fitnah yang menghasut sebagai kejahatan dianggap sebagai ujian terhadap kebebasan menyatakan pendapat yang secara pragmatis dibenarkan sebab berbicara yang relevan secara politik merupakan semua pembicaraan yang termasuk dalam kebebasan pers. Pers yang benar-benar bebas dan independen hanya ada di sebagian kecil negara-negara Barat yang memiliki karakter sebagai berikut:
1. Suatu sistem hukum yang memberikan perlindungan yang berati bagi kebebasan sipil perorangan (di sini bangsa yang menerapkan common law, yaitu hukum yang menjamin kebebasan individu bagi rakyat untuk menyatakan pendapat, seperti Amerika Serikat dan Inggris) tampaknya menerapkan sistem pers yang lebih baik ketimbang Perancis atau Itali yang menerapkan tradisi civil law; 
2. Tingkat pendapatan rata-rata yang tinggi dalam : income per kapita, pendidikan melek-huruf; 
3. Pemerintahan dengan sistem multipartai, demokrasi parlementer atau sekurangkurangnya dengan oposisi politik yang sah; 
4. Modal cukup atau perusahaan swasta diperbolehkan mendukung media komunikasi berita; 
5. Tradisi yang mapan mengenai kemandirian jurnalistik.

3. Pers Bertanggung Jawab Sosial
Pada hakikatnya fungsi pers dalam teori tanggung jawab sosial ini tidak berbeda jauh dengan yang terdapat pada teori libertarian namun pada teori yang disebut pertama terefleksi semacam ketidakpuasan terhadap interpretasi fungsifungsi tersebut beserta pelaksanaannya oleh pemilik dan pelaku pers dalam model libertarian yang ada selama ini.
Penganut libertarian mempercayai bahwa orang dapat mengetahui kebenaran saat mereka boleh memilih dan pers sebagai penyedia ide-ide/pasar ide. Mereka percaya bahwa media itu beragam dan independen dan orang-orang memiliki akses ke media.
Namun kenyataan yang terjadi adalah pers itu menjadi berorientasi profit, dimana lebih mengutamakan penjualan dan iklan di atas kebutuhan untuk menjaga publik mendapat informasi lengkap dan akurat sehingga membahayakan moral publik, melanggar hak-hak pribadi dan dikontrol oleh satu kelas sosioekonomi, yaitu kelas bisnis yang membahayakan pasar ide yang bebas dan terbuka.
Teori tanggung jawab sosial berasal dari Commission on Freedom of the Press sebagai reaksi atas interpretasi dan pelaksanaan model libertarian yang ada. Komisi tersebut merumuskan beberapa persyaratan pers sebagai berikut: 
1. Memberitakan peristiwa-peristiwa sehari-hari dengan benar, lengkap dan berpekerti dalam konteks yang mengandung makna. 
2. Memberikan pelayanan sebagai forum untuk saling tukar komentar dan kritik. 
3. Memproyeksikan gambaran yang mewakili semua lapisan masyarakat 
4. Bertanggung jawab atas penyajian disertai penjelasan mengenai tujuan dan nilainilai masyarakat. 
5. Mengupayakan akses sepenuhnya pada peristiwa sehari-hari. 
Secara umum suatu berita haruslah mendukung konsep non-bias, informatif dan institusi pers independen yang akan menghindari penyebab ancaman terhadap kaum minoritas atau yang mendorong tindak kejahatan, kekerasan dan kekacauan sipil. Tanggung jawab sosial seyogyanya dicapai melalui self control/kontrol diri (dari pers itu), bukan dari pemerintah.
Tanggung jawab sosial jika dikaitkan dengan jurnalis melibatkan pandangan yang dimiliki oleh pemilik media yang serta merta akan dibawa dalam media tersebut haruslah memprioritaskan tiga hal yaitu keakuratan, kebebasan dan etika. Tak pelak lagi profesionalisme menjadi tuntutan utama disini. Jadi pelaku pers tidak hanya bertanggung jawab terhadap majikan dan pasar namun juga kepada masyarakat.

4. Pers Soviet Komunis
Lahir pada era Uni Soviet Russia yang berkembang di negara-negara komunis Eropa Timur dan dikembangkan pula oleh Adolf Hitler di Jerman dengan Nazinya dan oleh Benito Mussolini di Italia dengan Fasismenya. Teori tersebut berdasar pada ajaran Marxisme, Leninisme, Stalinisme dan pembauran pemikiran Hegel serta cara erberpikir Russia abad 19.
Oleh karena ia merupakan produk dan alat penguasa soviet, maka tujuan media diarahkan untuk membantu dan berlangsungnya sistem Sosialisme Soviet, khususnya kelangsungan para diktator partai. Sehingga pengguna media massa hanya diperuntukkan bagi para anggota partai yang setia dan ortodoks. Akibatnya, media massa pun dikontrol dan diawasi dengan ketat seperti dilarang mengkritik tujuan partai dan kebijakan-kebijakannya.Partai menganggap dirinya sebagai suatu staf umum bagi masa pekerja. Menjadi doktrin dasar, mata dan telinga bagi massa.

0 komentar:

 

Blogger news

Blogroll