Sabtu, 26 Januari 2013

Sejarah Pers di Indonesia


Sejarah Pers Nasional

               Zaman Belanda

Pada tahun 1828 di Jakarta diterbitkan Javasche Courant yang isinya memuat berita- berita resmi pemerintahan, berita lelang dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa. Sedangkan di Surabaya Soerabajash Advertentiebland terbit pada tahun 1835 yang kemudian namanya diganti menjadi Soerabajash Niews en Advertentiebland. Di semarang terbit Semarangsche Advertentiebland dan Semarangsche Courant. Di Padang surat kabar yang terbit adalah Soematra courant, Padang Handeslsbland dan Bentara Melajoe. Di Makassar (Ujung Pandang) terbit Celebe Courant dan Makassaarch Handelsbland. Surat- surat kabar yang terbit pada masa ini tidak mempunyai arti secara politis, karena lebih merupakan surat kabar periklanan. Tirasnya tidak lebih dari 1000-1200 eksemplar setiap kali terbit. Semua penerbit terkena peraturan, setiap penerbitan tidak boleh diedarkan sebelum diperiksa oleh penguasa setempat.
Pada tahun 1885 di seluruh daerah yang dikuasai Belanda terdapat 16 surat kabar
berbahasa Belanda, dan 12 surat kabar berbahasa melayu diantaranya adalahBintang
Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar, Selompret Melayudan Tjahaja
Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan Surat kabar berbahasa jawa Bromartani
yang terbit di Solo

   Zaman Jepang

Ketika Jepang datang ke Indonesia, surat kabar-surat kabar yang ada di Indonesia diambil alih pelan-pelan. Beberapa surat kabar disatukan dengan alasan menghemat alat- alat tenaga. Tujuan sebenarnya adalah agar pemerintah Jepang dapat memperketat pengawasan terhadap isi surat kabar. Kantor berita Antara pun diambil alih dan diteruskan oleh kantor berita Yashima dan selanjutnya berada dibawah pusat pemberitaan Jepang, yakni Domei.
Wartawan-wartawan Indonesia pada saat itu hanya bekerja sebagai pegawai, sedangkan yang diberi pengaruh serta kedudukan adalah wartawan yang sengaja didatangkan dari Jepang. Pada masa itu surat kabar hanya bersifat propaganda dan memuji-muji pemerintah dan tentara Jepang.


   Pers pada masa Revolusi

Pada masa ini, pers sering disebut sebagai pers perjuangan. Pers Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasukpers. Hal yang diperebutkan terutama adalah peralatan percetakan.
Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya koran Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia.

    Pers pada masa Demokrasi Liberal

Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal. Pada masa demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam rangka memperkuat sistem pemerintah parlementer. Pers, pada masa itu merupakan alat propaganda dari Par- Pol. Beberapa partai politik memiliki media/koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers dikenal sebagai pers partisipan.

    Pers pada masa Demokrasi Terpimpin

Pergolakan politik yang terus terjadi selama era demokrasi liberal, menyebabkan Presiden Soekarno mengubah sistem politik yang berlaku di Indonesia. Pada 28 Oktober 1956, Soekarno mengajukan untuk mengubah demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin. Selanjutnya, pada Februari 1957, Soekarno kembali mengemukakan konsep demokrasi Terpimpin yang diinginkannya. Hampir berselang dengan terjadinya berbagai pemberontakan di banyak daerah di Indonesia yang melihat sentralitas atas hanya daerah dan penduduk Jawa.
Munculnya berbagai pemberontakan di daerah dan di pusat sendiri, membuat Soekarno mengeluarkan Undang-Undang Darurat Perang pada 14 Maret 1957. Selama dua tahun Indonesia terkungkung dalam perseturuan antara parlemen melawan rezim Soekarno yang berkolaborasi dengan militer. Namun, tak berselang lama, Soekarno menerbitkan dekrit kembali ke Undang-Undang Dasar 45, disusul dengan pelarangan Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi, karena keterlibatan kedua partai tersebut dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958 di Sumatera.

Prinsip-prinsip demokrasi yang hendak ditegakkan oleh pemerintah, yaitu sebagai berikut :
1)      Demokrasi terpimpin adalah demokrasi atau kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
2)      Demokrasi terpimpin bukanlah diktatur, tetapi demokrasi yang berbeda dengan demokrasi liberal.
3)      Demokrasi terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan yang meliputi bidang-bidang politik, ekonomi, dan sosial.
4)      Demokrasi terpimpin adalah alai, bukan tujuan.
Demokrasi terpimpin mengenal juga kebebasan berpikir dan berbicara, tetapi dalam batas-batas tertentu, yakni batas keselamatan negara, kepri­badian bangsa, kepentingan rakyat banyak, dan batas pertanggung­jawaban kepada Tuhan.


        Masa Orde Baru

Setelah berakhirnya peristiwa G 30 S/PKI, berakhir pula masa pemerintahan Orde Lama. Kemudian bangsa Indonesia memasuki alam Orde Baru. Pada awal masa Orde Baru ini fungsi -dan sistem pers masih belum berjalan dengan baik. Ketika itu surat kabar-surat kabar yang terbit merupakan terompet masyarakat untuk menentang kebijaksanaan Orde Lama clan menyokong aksi-aksi mahasiswa/pemuda sehingga surat kabar-surat kabar yang terbit merupakan parlemen masyarakat.
Gejala-gejala pers liberal kembali melekat. Apalagi ketika menjelang Pemilu 1971, sinisme dan kritik yang sifatnya tidak membangun kembali memenuhi lembaran-lembaran surat kabar kita. Timbulnya gejala-gejala yang tidak menguntungkan tersebut, antara lain disebabkan tidak adanya pembinaan yang tegas, baik dari instansi-instansi resmi maupun badan-badan atau organisasi-organisasi yang berkepentingan tentang adanya pers nasional yang sehat, pers nasional yang dapat melaksanakan fungsi-fungsinya, baik yang bersifat universal maupun sebagai alat perjuangan bangsa.
Namun, ketika alam Orde Baru ditandai dengan kegiatan pembangunan di segala bidang, kehidupan pers kita pun mengalami perubahan dengan sendirinya karena pers mencerminkan situasi dan kondisi dari kehidupan masyarakat di mana pers itu bergerak. Oleh karenanya, pada masa ini pers merupakan salah satu unsur penggerak pembangunan. Kita tentu menyadari bahwa pembangunan pada hakikatnya merupakan suatu proses perubahan yang bertujuan meningkatkan taraf hidup rakyat. Namun demikian, kita juga menyadari bahwa perubahan sebagai akibat dari pembangunan tidak akan terjadi jika rakyat tidak mengetahui dan dapat menerima motivasi, metode, dan hasil-hasil yang akan dibawa oleh pembangunan itu. Untuk inilah diperlukan penerangan yang lugs kepada rakyat tentang maksud Berta tujuan pembangunan. Pers sebagai sarana penerangan/komunikasi meru­pakan salah satu alat yang vital dalam proses pembangunan.
Seiring dengan laju pembangunan yang sangat pesat pada masa Orde Baru, ternyata tidak berarti kehidupan pers mengalami kebebasan yang sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Terjadinya pembredelan pers pada masa-masa ini menjadi penghalang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak asasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara. Kondisi yang demikian dilatarbelakangi adanya keinginan sekelompok elit yang ingin menguasai pemerintahan. Dengan segala daya dan upaya, para elit berusaha membendung berbagai pemberitaan dan informasi yang dianggap merugikan diri atau kroni-kroninya. Kehidupan pemerintahan diliputi dengan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang berarti telah mengkhianati amanat rakyat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.
Seperti pada masa-masa sebelumnya, masa Orde Baru pun akhirnya tumbang oleh kekuatan rakyat yang dimotori oleh para mahasiswa. Salah satu tuntutan mahasiswa-rakyat Wall adanya kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan, yang berarti adanya jaminan kebebasan pers.

    Masa Reformasi

Salah satu tonggak penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia ialah terjadinya reformasi sejak 1998 dengan turunnya Soeharto sebagai presiden RI. Runtuhnya Orde Baru membuka era demokrasi dan kebebasan pers yang sebelumnya tidak pernah mampu dinikmati bangsa Indonesia. Kemudian yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah reformasi, proses demokratisasi, dan kebebasan pers An sudah berjalan dengan balk, khususnya dalam membawa kemajuan rakyat banyak?
Salah satu jasa pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde Baru yang hares disyukuri ialah pers yang bebas. Pemerintahan Presiders Habibie mempunyai andil besar dalam melepaskan kebebasan pers, sekalipun barangkah kebebasan pers ikut merugikan posisinya sebagai presiden.

Kebebasan di Indonesia dalam era reformasi ditandai dengan lahirnya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dengan adanya UU Pers tersebut, setiap orang boleh menerbitkan media massa tanpa harus meminta ijin kepada pemerintah seperti sebelumnya. Pers dalam era reformasi tidak perlu takut kehilangan ijin penerbitan jika mengkritik pejabat, baik sipil maupun militer. Dengan UU Pers diharapkan media massa di Indonesia dapat menjadi salah satu di antara empat pilar demokrasi.
Beratnya ongkos produksi dan banyaknya pesaing tidak mengurangi perkembangan media massa di Indonesia sekarang. Akan tetapi, kondisi yang sama juga telah melahirkan jenis-jenis pers yang aneh. Banyak pengamat mengeluh bahwa pers kini sudah memberitakan apa saja, kecuali yang benar. Bila pers Orde Baru ditandai dengan pers yang tidak bebas dan bertanggung jawab; pers Orde Habibie adalah pers yang bebas dan tidak bertanggung jawab.

Diwarnai oleh suasana politik yang tidak menentu, hampir Semua surat kabar memusatkan perhatiannya pada berita politik. Karena situasi politik sebenarnya cenderung tidak banyak berubah, pers menjadi sangat aktif untuk membuat berita politik dengan mengakses sumber-sumber berita yang tidak lazim, sekaligus tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan segala efek sampingnya, pers kita sekarang sedang menikmati bulan madu kebebasannya. Bila kita kecewa dengan kinerjanya, kita tidak punya hak untuk mencabut kebebasan itu. Semua orang sepakat walaupun sebagian hanya dalam kata-kata bahwa reformasi harus dilanjutkan. Salah satu institusi yang sangat berperan dalam proses reformasi ini adalah pers. Sekaranglah saatnya pers Indonesia menemukan jati dirinya, dengan merumuskan perannya secara jelas. Siapakah yang paling bertanggung jawab di sini? Jelas sekali, bukan pemerintah, bukan Dewan Pers, apalagi TNI; tetapi insan pers sendiri, khususnya para pemimpin dan penentu kebijakan surat kabar.
Dalam hubungannya dengan pemerintah, para pakar komunikasi bercerita tentang tiga modus peran pers. Pers dapat menjadi watch-dog, yang segera menggonggong ketika terjadi penyimpangan pada perilaku rezim. Semua kebijakan pemerintah menjadi target serangan pers. Peran watch-dog ini sudah lama kita tepiskan sebagai peran yang tidak sesuai dengan pers Pancasila.
Secara ideal, kita sudah memilih peran pers sebagai mitra (partner) pemerintah. Di sini pers berdampingan dengan pemerintah mengemban misi mulia memberikan penerangan dan pendidikan (membangun masyarakat). Lalu, lahirlah pers pembangunan. Secara praktis, pers kita selama Orde Baru mengambil posisi sebagai budak pemerintah (slave). Kemitraan hanya tumbuh di antara yang setingkat, yang sama (equal). Dalam hubungan yang supra dan subordinasi, pers hanya menjadi kuda tunggangan pemerintah.
Pers Indonesia sekarang harus menggeser paradigms lama dan harus menjadi lembaga independen, yang memihak pads kebenaran. Pers Indonesia boleh jadi sekali waktu bekerja untuk menyukseskan program pemerintah atau menyorot kebijakan pemerintah dengan kritis atau sekadar mendampingi pemerintah. Akan tetapi, dalam posisi yang bermacam-macarn itu is tetap menjadi lembaga yang menuntut perubahan demi kepentingan rakyat banyak.
Ini berarti pers harus membantu proses demokratisasi. Demokrasi merupakan sebuah sistem yang berusaha memenuhi keinginan seluruh rakyat. Karena tidak ada satu pun yang dapat memenuhi keinginan seluruh rakyat, maka paling tidak kits harus memperhatikan keinginan rakyat yang terbanyak.
Namun, setelah berjalan kurang lebih lima tahun, yang terjadi bukan pers yang sehat, tetapi anarki di bidang media massa. Pers Indonesia belum mampu menjadi pilar demokrasi dan mendukung reformasi, tetapi malah menjadi salah satu penyebab berbagai macam keresahan sosial. Mengapa demikian? Masalahnya sangat sederhana. Dengan kebebasan pers yang hampir tanpa batas, tetapi tidak diiringi profesionalitas yang tinggi di kalangan pekerja pers, maka yang terjadi ialah penyalahgunaan kekuasaan kalangan pers dalam menjalankan tugasnya. Opini yang berkembang adalah pers gosip, pornografi, clan berita-berita yang tidak bertanggung jawab.
Karena itu, dalam pandangan sebagian anggota DPR, ada wacana tentang perlunya merombak UU No. 40 tahun 1999 dengan perlunya memasukkan kembali prinsip perijinan dan mekanisme pengawasan dalam penerbitan pers. Dalam era reformasi ini, bukan pemerintah lagi yang berperan sebagai regulator, tetapi lembaga yang dibentuk kalangan pers sendiri. Pers harus bebas, tetapi kebebasannya harus bermanfaat untuk masyarakat. Wacana perlunya regulator bagi penerbitan media massa mungkin bukan suatu solusi terbaik bagi kalangan media di Indonesia. Namun demikian, jika ingin menyelamatkan demokrasi dan reformasi, maka pers harus menata dirinya sendiri dan mengatur diri tanpa adanya campur Langan (intervensi) dari penguasa.



0 komentar:

 

Blogger news

Blogroll